Rekonstruksi pembangunan ekonomi nasional

Dunia berada  di gerbang revolusi industri generasi ke empat, sebuah proses transformasi yang  secara fundamental akan membawa kita masuk ke dalam era digital.  Gejalanya terlihat dimana-mana,  mulai krisis ekonomi,  krisis politik, perang siber dll.  Kita belum memahami secara baik implikasi revolusi teknologi informasi. Tapi kita menyadari ada peluang dan tantangan yang hadir bersamaan dengan proses tranformasi ini.  

Data telah menjadi sumber daya baru abad ke-21. Kita perlu belajar bagaimana me-eksplorasi dan me-eksploitasi-nya dan menyempurnakannya, dan  mengubahnya menjadi informasi, pengetahuan dan kebijakan. Besar kemungkinan data yang dikumpulkan dan apa yang diketahui oleh pemerintah dan perusahaan Big Data saat ini jauh melebihi apa yang pernah dilakukan Pemerintahan Diktator dimasa lalu.  Sangat terbuka peluang data dan informasi tersebut dapat disalahgunakan oleh kelompok kepentingan tertentu, terutama oleh kelompok kepentingan global dan kapitalis internasional.  Dan pada proses menjadi Industri 4.0 awalnya akan berdampak pada ketidak-stabilan dalam proses menuju kestabilan baru.


Seperti kita ketahui bahwa kemajuan peradaban suatu bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya mengembangkan, menguasai dan memanfaatkan teknologi. Human capital (modal manusia/ SDM) memiliki peranan yang lebih nyata dalam mendukung penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana mutu human capital antara lain adalah derajat kesehatan dan pendidikan dimana pembangunan sektor ini sudah menjadi prioritas utama.  Mutu human capital  adalah pendukung utama proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  

Adopsi revolusi industri 4.0 dinilai akan mampu mendorong potensi Indonesia untuk meningkatkan volume dan kualitas ekspor. Dan dalam konteks saat ini terlebih dulu harus dipenuhinya syarat atas penguasaan teknologi industri manufaktur pada Industri Pengolahan Nasional.  Untuk menghilangkan impor alat mesin dan bahan baku - bahan baku penolong,  untuk merubah defisiti neraca perdagangan menjadi surplus.  Apa artinya memacu ekspor bila hanya melakukan ekspor bahan mentah dan setelah dinaikan nilai tambahnya di negara lain diimpor kembali sebagai bahan baku/ bahan baku penolong untuk kebutuhan industri pengolahan produk barang jadi. 

Sedikit sekali jenis produk industri pengolahan nasional dapat diekspor karena keunggulan kompetitif atau keunggulan bersaing/ competitive advantage-nya rendah.  Sebab dalam struktur produksi industri kita Tingkat Kandungan dalam Negeri (TKDN)/ Komponen lokalnya rendah dan umumnya lebih banyak menggunakan komponen luar seperti teknologi alat mesin industri dan bahan baku penolong yang diimpor (dengan mata uang dollar), akibatnya biaya produksi tinggi sehingga sulit bersaing di pasar internasional baik dari segi harga dan mutu. 


Impor nasional Jan-Agust 2018 didominasi oleh sektor Industri Pengolahan yang didalam struktur produksinya didominasi kategori impor bahan baku dan bahan baku penolong.

Defisit neraca perdagangan telah berlangsung selama beberapa dekade akibat nilai impor lebih besar dibanding ekspor.    

Tabel Komposisi Impor Nasional Jan - Agust 2018



Dari data diatas tampak sektor Industri Pengolahan (US$ 95,99 Miliar) mendominasi impor dari kumulasi import nasional sebesar US$ 123,55 miliar.  Sementara total nilai ekspor pada Jan - Agust 2018 sebesar US$ 120,10 Miliar, artinya defisit neraca perdagangan sebesar US$ 3 Miliar lebihTrade balance account deficit ini kerap terjadi dibanding surplus pada periode sebelum ini.  Artinya sebesar berkurangnya cadangan devisa negara pada kurun waktu yang sama, yang mempengaruhi pelemahan kurs.

Lemahnya nilai kurs rupiah telah dialami negeri kita sejak zaman ORLA, ORBA sampai saat ini dan bahkan nilai rupiah pernah dipotong dari Rp1000,0 menjadi Rp 1,0 (Sanering/ Devaluasi).  Faktor penyebab eksternal dan internal karena rendahnya produktifitas nasional dan akibatnya pada rendahnya ketahanan ekonomi.  Faktor internal lebih penting untuk segera dibenahi.  Salah satunya adalah defisit neraca perdagangan luar negeri (Trade Balance Account Deficit) dan defisit neraca/ transaksi berjalan (Current Account Deficit).  

Kwik Kian Gie  mengatakan bahwa dalam 48 tahun (31 Des 1970 - 10 Mei 2018), Singapura mengalami penguatan nilai mata uang atau apresiasi sebesar 57 persen, Malaysia mengalami penurunuan nilai mata uang atau depresiasi sebesar 57 persen, Thailand mengalami depresiasi sebesar 52 persen, Filipina mengalami depresiasi sebesar 756 persen dan Indonesia mengalami depresiasi sebesar 3757 persen.

Defisit transaksi/ neraca berjalan merongrong kepercayaan investor terhadap aset Indonesia dan dengan demikian memberikan tekanan pada rupiah karena Indonesia menjadi tergantung pada arus eksternal untuk membiayai defisit (yang juga menentukan stabilitas rupiah Indonesia). Defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat sebesar $ 5,5 miliar pada Quartal/ Q1-2018. Ini adalah peningkatan yang tajam dibandingkan dengan Q1-2017 ketika defisit tercatat hanya sebesar $ 2,4 miliarDengan demikian, defisit transaksi berjalan Indonesia lebih dari dua kali lipat, sebuah perkembangan yang terutama karena impor yang meningkat pesat.

Perkembangan terakhir, defisit neraca/ transaksi berjalan Indonesia menjadi $ 8,0 miliar pada Q2-2018 






Transaksi berjalan (Current Account) adalah alat ukur terluas untuk perdagangan internasional Indonesia. Ini mencakup transaksi barang, jasa, pendapatan faktor produksi (dari aset dan tenaga kerja), dan juga transfer uang.  Bila sebuah negara mencatat defisit transaksi berjalan berarti negara ini menjadi peminjam neto dari negara-negara lain di dunia dan karenanya membutuhkan aliran finansial dari luar untuk membiayai defisit ini. 

Adalah sebuah fakta yang diketahui umum bahwa negara-negara yang dibebani defisit transaksi berjalan sangat rentan pada capital outflows pada masa-masa guncangan perekonomian.  Capital outflow merupakan aliran modal yang keluar dari investasi dalam bentuk faktor produksi dapat berupa uang/ saham, barang, mesin, pabrik, tanah/ gedung.

Rumus umum dalam situasi krisis ekonomi adalah: perusahaan perusahaan yang banyak memakai modal luar (apalagi dalam bentuk valuta asing) dan banyak memakai input impor akan mengalami dampak negatif dari terjadinya depresiasi rupiah yang menjadi indikasi awal krisis ekonomi.


Impor sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan sebesar US$ 6,49 Miliar sangat kecil dibanding sektor Industri Pengolahan US$ 95,99 Miliar, maka  selayaknya dikembangkan Industri untuk substitusi impor berbasis sektor tersebut, dimulai  dengan produksi bahan baku penolong sampai produk barang jadi, yang untuk jangka menengah - panjang diarahkan pada orientasi ekspor melalui peningkatan competitive advantage, dengan penguasaan teknologi untuk menghindari impor barang modal seminim mungkin.  Pengembangan agro-technology dan teknologi pangan untuk substitusi impor gandum perlu mulai diteliti dan dikembangkan.  Data impor gandum tahun ini mencapai 11,8 juta ton (2018), konsumsi gandum terbesar akan terserap oleh industri tepung terigu nasional sebesar 8 juta ton (sebagian besar untuk supply kebutuhan industri makanan spt kue kering mie dan sejenisnya). Sementara 3,8 juta ton sisanya, sebagian terserap untuk memenuhi kebutuhan sektor pakan ternak. Gandum masuk dalam kategori impor bahan baku industri pengolahan, termasuk biji kakao dan bahan baku penolong namun bagusnya sebagian kakao olahan tersebut untuk tujuan ekspor.

Dalam mengurangi defisit neraca perdagangan dimana impor lebih dari ekspor selayaknya dikeluarkan kebijakan, regulasi untuk industri makanan tidak berbahan baku pokok yang berasal dari impor, bila tetap akan meggunakan gandum akan dikenakan tarif bea masuk lebih tinggi.  Bisakah, kenapa tidak, ini dimulai dengan kebijakan dan langkah strategis melalui penguasaan teknologi bukan sekedar pengguna yang diimpor, penguasaan teknologi mencakup kemampuan membuat dan mengembangkan teknologi sendiri.  Bisa dimulai dari teknologi pengolahan berbasis bahan baku produk lokal.  

Penguatan Industri Penghasil Nilai Tambah Berbasis Potensi Produk Lokal Melalui Pengembangan; dengan mendorong percepatan pengembangan Pusat Teknologi Agroindustri (PTA - BPPT) dalam budidaya (hybreeding) sagu dan campuran tanaman serelia lainnya yang kelak dapat diolah menjadi mie. Budidaya ini bertujuan, pertama untuk mengurangi konsumsi beras masyarakat Indonesia yang mencapai 120 Kg per tahun tiap jiwanya dan, kedua masyarakat saat ini terlanjur sudah menyukai makanan mie yang sampai kini hanya terbuat dari bahan baku gandum yang harus diimpor, karena tanaman gandum tidak cocok dibudidayakan di iklim tropis. Perkembangannya akan mengurangi impor gandum termasuk pengurangan konsumsi beras, dan bila dilakukan secara konsisten akan cukup berarti dalam pengurangan impor bahan baku industri pengolahan makanan, dan kontribusinya dalam mengurangi defisit neraca perdagangan luar negeri.  Seiring dengan pengurangan impor bahan baku dan bahan penolong industri pengolahan lainnya. 

Untuk itu sangat dibutuhkan percepatannya dengan dikembangkannya kembali badan pengembangan industri strategis (BPIS), melibatkan kementrian/ lembaga terkait sebagai program prioritas nasional mencakup kebutuhan infrastruktur, fasilitas dan utililitas terkait pengembangan teknologi manufaktur, untuk mengurangi impor mesin peralatan pabrik industri pengolahan.

Pembuat mie berbahan dasar tepung terigu

Pembuatan Mie Berbahan Baku Tepung Terigu Gandum

Komentar

Postingan Populer