Kehilafahan

Sistim Kekhilafahan

Dalam Islam, yang menjadi dalil syariatnya adalah al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, danQiyas. Karena itu, kewajiban Khilafah haruslah merujuk pada empat dalil tersebut.
Namun, bukan berarti sejarah (târîkh) tidak ada artinya sama sekali. Sejarah sebagai peristiwa masa lampau bisa dijadikan pelajaran dan referensi atas pelaksanaan hukum-hukum syariat oleh manusia. Artinya, dari sejarah kita mengetahui apakah hukum-hukum syariat tersebut dilaksanakan atau tidak; apa akibat kalau hukum-hukum syariat tersebut tidak dilaksanakan. Sebab, manusia sebagai pelaku hukum-hukum syariat tidaklah ma'shûm(yang tidak mungkin salah). Sebagai manusia bisa saja seorang Khalifah melakukan kekeliruan dan menyimpang dari ketentuan-ketentuan syariat. Satu-satunya yang ma'shûmyang tidak mungkin keliru adalah para nabi dan Rasululullah.

Sebagai sistem yang dipraktikkan oleh manusia, sistem Khilafah adalah sistem politik yang manusiawi. Karena itu, dalam berbagai praktik dalam sistem Khilafah, bisa saja terjadi kekeliruan. Namun, yang penting dicatat di sini, penyimpangan yang dilakukan oleh Khalifah atau pejabat negara, bukan berarti menunjukkan bahwa sistem Khilafahnya salah dan keliru; “Tidaklah relevan menyalahkan sistem yang ideal dengan melihat kesalahan dari pelaku-pelaku sistem yang ideal tersebut”.

Di Indonesia saat ini, misalnya, sebagian besar pelaku kriminal adalah orang Islam; banyak pelaku korupsi juga orang Islam; banyak orang Islam yang tidak menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Namun, tentunya tidak dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan pemeluknya melakukan perilaku-perilaku negatif seperti itu.Islam harus dilihat dari sumber-sumbernya. Tidak ada satu dalil pun di dalam Al-Quran dan as-Sunnah yang memerintahkan seperti itu. Sebaliknya, sistem Islam melarang dan menghukum para pelaku kriminal dan korupsi. Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk menjaga lingkungan. Artinya, fakta-fakta yang salah tersebut justru diakibatkan karena “pemeluk Islam meninggalkan ajaran Islam, bukan karena syariat Islam itu sendiri”. Sama halnya dengan fakta-fakta buruk dalam sistem Khilafah, bukan disebabkan oleh sistem Khilafah itu sendiri, tetapi justru bentuk penyimpangn dari syariat Islam yang seharusnya diterapkan secara konsekuen dalam sistem Khilafah oleh rakyat dan penguasanya. Sebagai contoh, ketika Muawiyah memaksa rakyat untuk membaiat anaknya, Yazid, sebagai khalifah, maka hal itu ditentang karena merupakan bentuk penyimpangan dari syariat Islam. Sebab, dalam Islam Khalifah adalah hasil pilihan dan kerelaan rakyat. Jadi, yang menyimpang adalah tindakan Muawiyahnya, bukan sistem Khilafahnya. Karena itu, tidak bisa kemudian dikatakan bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang otoriter berdasarkan sejarah di era Muawiyah ini.

“Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal salih dari kalangan kamu (wahai ummat Muhammad) bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka: Khalifah-khalifah yang berkuasa dan Dia akan menguatkan dan mengembangkan agama mereka (Islam) yang telah diredhaiNya untuk mereka dan Dia juga akan menggantikan bagi mereka keamanan setelah mereka mengalami ketakutan (dari ancaman musuh). Mereka terus beribadat kepadaKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu yang lain denganKu. Dan (ingatlah) sesiapa yang kufur ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang durhaka (QS, An-Nur: 55)”.
Sejauh ini apakah isi ayat diatas sudah merupakan ayat norma (hukum) yang bermuatan perintah, ataukah ayat yang bersifat deklaratif (pernyataan) janji Alloh.  Hal ini yang harus dikaji lebih lanjut secara seksama.  Namun terkait dengan hukum menerapkan sistem khilafah, Jalal Al-Anshari dalam karyanya Introduction to The System of Islam menyatakan bahwa pengangkatan khalifah dalam pemerintahan Islam merupakan kewajiban seluruh kaum muslim berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat (terjemahan Abu Faiz, hal. 92 – 93). Namun hadits yang dijadikan dasar merupakan hadits tentang bai’at khalifah atau imam (keduanya hadits riwayat Muslim), yang intinya: adanya hukuman mati bagi khalifah tandingan (larangan adanya khalifah tandingan) dan kewajiban seseorang untuk taat kepada imam apabila ia telah membai’atnya. Hadits-hadits yang dijadikan dasar sama sekali tidak eksplisit memerintahkan diterapkannya Sistem Khilafah.

Sebagian orang menilai Al-Quran tidak rinci menentukan hukum pemerintahan, melainkan hanya asas-asas umum yang harus dipatuhi, sebagaimana di antaranya ditentukan dalam Surat An-Nisa’: 59 yang memerintahkan penyampaian amanat kepada yang berhak, perintah penerapan hukum dengan adil, menaati Alloh, Rasululloh dan para pemimpin (Ulil Amri).  “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.  (An-Nisa’: 59)”. 

Bertitik tolak dari ada kemungkinan masyarakat akan berselisih menentukan Ulil Amri, kelanjutan ayat menyatakan, "Dalam keadaan seperti ini, rujuklah kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul yang merupakan sebaik-baik hakim dan sebaik-baik kesudahan bagi kalian. Namun yang jelas, ketaatan kepada Ulil Amri dan Rasul Saw adalah dalam rangka ketaatan kepada Alloh.  Perkara ini tidak bertentangan dengan tauhid. Karena kita menaati Nabi dan Ulil Amri atas perintah Tuhan  juga.

Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:‎
Pertama: Ketaatan kepada Rasul dan Ulil Amri dalam ayat ini bersifat mutlak, tanpa ada syarat yang ditaati harus tidak memiliki kekurangan.
Kedua: Rasul memiliki dua kedudukan. Pertama, menjelaskan hukum-hukum Tuhan dan menunaikan risalahNya. Kedua, mengelola urusan masyarakat dan menjelaskan peraturan-peraturan pemerintahan berdasarkan kebutuhan.
Ketiga: Jalan yang terbaik menyelesaikan perselisihan mazhab Islam adalah merujuk kepada al-Quran dan  Sunnah Rasul yang diterima oleh semua orang.
Keempat: Kaum mukmin hendaklah menerima pemerintahan berbasis hukum Islam dan mendukung dan memilih para pemimpin yang adil dan memiliki kemampuan.

Komentar

Postingan Populer