Efektifitas/ Hasil Guna dari Kerja, Kerja, Kerja


Impor gandum 11,48 juta ton pada 2017 senilai 2,65 Miliar US$, berapa rupiah? Hitung berapa Triliun rupiah, kalikan 14.680 atau sempat 15.200 per US$.  Prediksi sampai akhir 2018 impor gandum 11,8 juta ton. Haruskah impor? Ya, karena gandum tidak cocok ditanam di negeri ini dan kita sudah terlanjur suka mie.  Setelah diolah menjadi tepung terigu adalah bahan baku utama industri makanan, kue dari berbagai macam jenis. Maka menjelang bulan ramdhan sampai iedul fitri jumlah permintaan melonjak tinggi, importir untung dan industri tepung terigu omzetnya meningkat drastis. Industri pakan hanya menyerap 30% gandum impor tersebut.  Kita pun harus impor kedele, karena kita sudah terbiasa konsumsi tempe - tahu dari bahan baku kedele impor, kedele lokal tidak sebaik kedele impor untuk kualitas rasa.  Impor kedele 2,67 juta ton thn 2017 senilai 1,28 Miliar US$, prediksi 2018 meningkat 3%.  Lantas apa yang bisa dilakukan untuk kurangi impor beras, jagung, gula, garam, yang semua bisa diproduksi didalam negeri.  

Untuk kurangi impor gandum apa yang bisa dilakukan oleh pemegang otoritas/ pemerintah, oleh para birokrat yang kita tau mereka sibuk dengan rutinitas penyerapan anggaran, apalagi eselon II keatas dan para menteri sebagai pejabat politis lebih banyak agenda protokolernya.  Karena dengan political will hal ini bisa diupayakan dibawah domain program ketahanan pangan dan swasembada pangan. Untuk tujuan dan sasaran industri makanan berbahan baku gandum sebagai foreign content kandungan atau muatan luar (impor) dibatasi sampai 60% dan dan ditambahkan muatan lokal dari jenis serelia hasil proses budidaya agro teknologi dan food technology pada industri makanan.   BPPT pernah melakukan riset tentang ini beberapa tahun lalu tapi tidak ada kelanjutannya, karena tidak intensif dan tidak disinergikan dengan kegiatan dari lembaga penelitian terkait lainnya, jadi seperti  jalan sendiri sendiri dan akhirnya jalan ditempat.

Untuk kedele, karena budidaya varietas lokal tidak dikembangkan secara intensif, padahal cukup banyak lembaga penelitian pertanian di negeri ini dengan ribuan karyawan.  Coba keliling di kota bogor ada banyak lembaga penelitian baik dibawah Kementrian Pertanian maupun IPB, termasuk dibeberapa kota di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.
Timbul pertanyaan kenapa pengembangan sub sektor pangan dan sektor terkait lainnya tidak dilakukan secara intensif seperti intensifnya mengembangkan sarana/ prasarana (infrastruktur) transportasi darat dan laut.

Yang juga perlu lebih serius dikendalikan oleh pemegang otoritas adalah impor sektor Industri Pengolahan dan bahan baku penolongnya yang mendominasi total total impor nasional.  Pada Januari - Agustus 2018 impor sektor Industri Pengolahan US$ 95,99 Miliar mendominasi impor nasional senilai US$ 123,55 Miliar (dimana pada periode yang sama ekspor hanya berkisar US$ 120 Miliar).  Kenapa begitu dominan impor Industri Pengolahan dan bahan baku penolongnya. Pemegang otoritas dengan satuan-satuan kerja di organisasi birokrasi bisa lebih serius mengembangkan program sektor industri untuk mendorong lebih besar digunakannya muatan lokal dibanding muatan luar yang diimpor. Kita semua tau bahwa bisnis impor cukup besar keuntungannya, tentu bagi pihak-pihak tertentu saja, tidak bagi bangsa dan negara ini.  Bahkan seringkali, kalau lah tidak mau dikatakan selalu, bahwa nilai impor lebih besar dari ekspor.  Mnjadi penyebab defisit neraca pedagangan luar negeri dan kontribusinya pada defisit transaksi berjalan dan melemahkan nilai tukar rupiah. Sementara karena defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, terpaksa subsidi bbm semakin dikurangi dan efeknya harga barang turut naik.

Bangun infrastruktur? Begitu intensifnya sampai harus meminjam, menggunakan dana  masyarakat dari BPJS, Dana Haji dan yang lainnya dengan nilai terbesar dari pinjaman investasi luar negeri.  Hasilnya lebih bermanfaat bagi kepentingan industrialis dan perusahaan multinasional negara negara imperialis modern, pada aksesibilitas atau tingkat kemudahan pencapaian lokasi dalam proses distribusi produk-produk mereka.  Kalkulasi secara kualitatif/ kuantitatif  seberapa besar manfaat infrastruktur dan TOL laut bagi petani, buruh pabrik, pekerja sektor informal, pegawai rendah negeri dan swasta serta orang kebanyakan lainnya, paling banter pas mau mudik lebaran.  Apakah ada dampak positif pada ekonomi makro, pada penurunan harga barang barang kebutuhan masyarakat menengah kebawah? Tidak juga, karena naik turunnya harga lebih dipengaruhi oleh biaya transportasi yang meningkat karena kenaikan harga bbm, inflasi yang cenderung tidak menurun (baca; stabil) akibat langsung/ tidak langsung melemahnya kurs rupiah, akibat tekanan ekonomi global dengan akibat  depresiasi nilai rupiaha, karena rentannya ketahanan ekonomi nasional akibat rendahnya cadangan rupiah, terkait defisit transaksi berjalan, capital outflow dan defisit neraca perdagangan luar negeri.

Untuk mendorong industri dapat menggunakan lebih banyak muatan lokal memang perlu diawali dengan pengembangan industri hulu yang memproduksi peralatan mesin pabrik dan suku cadangnya, sekaligus mendorong pengembangan industri produsksi bahan baku penolong (produk substitusi impor).  Agar mampu memenuhi supply kebutuhan industri pengolahan utk produk barang jadi.  Bertahap muatan lokal ditingkatkan persentasenya sehingga tercapai efisiensi dalam struktur biaya produksi industri dan meningkatnya efektifitas/ hasil guna dan kontribusinya pada ekonomi makro, secara perlahan.

Seperti yang dilakukan Korea Selatan sepuluh duapuluh tahun lalu yang mengembangkan secara intensif industri elektronik didukung industri hulunya, untuk meningkatkan muatan lokal, simultan dengan pengembangan sarana dan prasarana (infrastruktur) terkait langsung sebagai penunjang proses produksi dan distribusi.  Melalui pengembangan infrastruktur secara selektif dan diurutkan atas skala prioritas dan pencapaian efektifitas/ hasil guna pada pengembangan perekonomian nasional mereka, diawali dengan pencapaian suplus tansaksi berjalan dan neraca perdagangan luar negeri karena nilai impor dibawah ekspor (Net Export positif).

Bagaimana mengukur dan menentukan indikator keberhasilan para menteri pembantu presiden yang merupakan jabatan politis, sehingga bangsa dan negara bisa berharap atas dedikasi utk sukses atas hasil kerja selama masa jabatannya, tidak sekedar tercapainya target dan realisasi yang seringkali krn sumber datanya tidak reliable menghasilkan kebijakan yg tidak tepat dan kesalahan dalam memproyeksikan produksi nasional, tantangan ekonomi global dan dlm merumuskan skala prioritas pembangunan dlm konstelasi ekonomi makro bagi ketangguhan ekonomi nasional dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Menghilangkan pengarus-utamaan kepentingan partai-partainya. Seperti yg terjadi dalam kabinet koalisi (bagi-bagi kursi di kabinet untuk partai pendukung).  Agar mempunyai kinerja yg dapat menggunakan anggaran belanja negara secara efisien melalui efektifitas pembiayaan - financing effectiveness.  Untuk hal yang sama di SKPD provinsi, kabupaten/ kota, sehingga jadilah kerja, kerja, kerja utk hasil guna yang tinggi bagi ketangguhan ekonomi nasional.  Sehingga kedepan siapapun presidennya harus teliti dalam memberikan, mempercayakan tanggung jawab pada para calon menterinya. Jangan terperangkap pada kabinet koalisi bagi bagi kursi yang akhirnya diisi oleh orang yang tidak kompeten mengatur kementriannya.  Jokowi terperangkap pada periode pertama kepemimpinannya.



Komentar

Postingan Populer