korupsi berjemaah
Perjalanan Pemberantasan Korupsi
Mega skandal bail out Century dan
mafia pajak seakan menjadi kasus yang tidak tersentuh oleh tangan KPK. Kerugian
negara yang ditimbulkan oleh dua kasus tersebut tidaklah kecil. Audit BPK
menyebutkan adanya penyimpangan dalam pengucuran 6,7 triliun rupiah uang negara
dalam bail out Bank Century.
Kasus mafia pajak tak kalah dahsyat.
Anggota DPR komisi III Bambang Soesatyo pernah menaksir kerugian negara yang
ditimbulkan berkisar 200-300 trilliun rupiah setahun. Manuver Gayus yang
pegawai rendahan saja bisa menyebabkan kerugian sampai 1,3 triliun rupiah dari
19 perusahaan yang ditangani. Kalikan angka itu dengan 151 perusahaan besar
yang pernah ditangani Gayus. Nah, ini baru Gayus sendirian. Sehingga, angka
kerugian 300 triliun rupiah tidak mustahil.
Triliunan rupiah kerugian negara
pada dua kasus itu, tentu membuat data kasus yang ditangani oleh KPK yang
'hanya' miliaran rupiah menjadi kecil.
Mega skandal lain adalah kasus BLBI,
seperti dikatakan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI)
yang juga Ketua Lembaga Penyidikan Ekonomi dan Keuangan Negara, Sasmito
Hadinegoro, bahwa siapapun Presiden Indonesia yang terpilih melalui Pilpres
2014, harus menuntaskan kasus besar yang menyengsarakan seluruh rakyat yakni
revolusi keuangan negara dalam hal ini kasus BLBI.
Masalah kasus hutang bodong yang
membebani negara dan akan terus bergulir hingga 2033 yang angkanya membengkak
menjadi Rp3.000 trilliun akan menjadi beban rakyat,” kata Sasmito Hadinegoro
kepada wartawan (1/8/2014).
Sebenarnya pada era SBY yaitu pada
kesempatan Raker Kejaksaan Agung, 25 Juli 2012, SBY telah memberikan perintah
kepada Jaksa Agung Basrie Arief untuk menuntaskan kasus ini. Tapi atas peran
dan pengaruh para taipan/ konglomerat hitam perintah itu tidak ditindaklanjuti.
Padahal SBY mengatakan kasus ini sangat penting untuk dan bisa meningkatkan
beban sejarah yang akan menjadi beban generasi mendatang,” ujarnya.
Ia mengatakan, mega skandal ini
bermula dari hutang konglomerat yang sebenarnya hanya Rp210 triliun tapi di
mark-up menjadi Rp640 trilliun itu pada 2003 di rezim Pemerintahan Megawati,
dan Boediono sebagai Menteri Keuangan ketika itu. Yang lebih parah lagi,
katanya, di cover menjadi Obligasi Rekapitalisasi pemerintah dengan diberi
bunga dan diperdagangkan.
Bahkan oleh Kementrian Keuangan
kemudian disulap bentuknya menjadi Surat Utang Negara (SUN) seri baru.
Menurutnya, ini adalah bentuk intellectual
fraud dalam pengelolaan tata keuangan negara yang membohongi publik/ rakyat.
Megawati waktu itu mengeluarkan
Inpres 2002 untuk para obligor-obligor itu yang bertentangan dengan UUD 1945
Pasal 14 ayat 1 dan 2 yang bunyinya pemerintah hanya berhak memberikan amnesti,
abolis, serta rehabilitasi. Padahal jika memang akan diselediki dasar hukumnya
saja sudah bertentangan.
Utang BLBI rezim Suharto ketika itu
Rp.130 trilliun kemudian satu setengah tahun kemudian menjadi Rp 210 trilliun
di era Habibie. Namun, di era Megawati menjadi bengkak menjadi Rp 640 trilliun. Kok bisa ?
“Hingga kini, bunga dari hutang
bodong di zaman Megawati itu terus membengkak. Dan para para taipan,
konglomerat hitam yang mengambil keuntungan dari bunga itu terus ber mewah
mewah diatas penderitaan rakyat. Yang menjadi pertanyaan kenapa di jaman
Megawati 2001 hingga 2004 hutang itu membengkak. Padahal riilnya hanya Rp210
trilliun.”
Kasus BLBI lebih besar dari kasus
Century, mafia pajak dan Hambalang. Namun uang rakyat/ negara hilang oleh
korupsi sistemik ini. ” Sampai saat ini 75-80 persen pendapatan negara pada
setiap APBN berasal dari pajak yang dibayarkan oleh ratusan juta rakyat secara
langsung atau tidak langsung. Tetapi tidak dapat digunakan kembali secara
maksimal untuk kepentingan rakyat.
Sekelumit Tentang BLBI ......
Presiden Megawati selaku Presiden RI saat itu
memutuskan untuk tetap menerbitkan SKL kepada para obligor BLBI," kata
Kwiek Kian Gie dalam sidang lanjutan kasus penerbitan Surat
Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI), Kamis (5/7/2018) di
Pengadilan Tipikor Jakarta.
(Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Presiden Megawati Putuskan Menerbitkan SKL BLBI pada Obligor Kooperatif, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/07/05/presiden-megawati-putuskan-menerbitkan-skl-blbi-pada-obligor-kooperatif). Pertanyaannya kooperatif untuk kepentingan apa dan untuk siapa? Kenyataannya mereka obligor hanya mencicil dan tidak ada yang sampai lunas.
Korupsi dari Kejahatan Institusi
Pemerintahan.
Munculnya "kejahatan
institusional" baik oleh eksekutif (birokrasi),maupun legislatif (DPR/D)
seringkali dilakukan dengan membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika
kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikkan secara kolektif
antara eksekutif dan legislatif .
Legislatif yang mestinya mengawasi
kinerja eksekutif justru ikut bermain dan melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama dengan cara yang "legal". "Legal"
karena dilegitimasi dengan keputusan.
Korupsi di Indonesia benar-benar
sangat sistemik, korupsi yang terjadi sudah berubah menjadi vampir state karena
hampir semua infra dan supra struktur politik dan sistem ketatanegaraan sudah
terkena penyakit korupsi. Agenda pemberantasan korupsi sampai detik ini hanya
jadi komoditas politik para elit politik, dan lebih banyak pada penghancuran karakter
(character assasination) bagi elit yang terindikasikan korupsi dibanding pada
proses hukum yang fair dan adil. Law enforcement bagi koruptor juga menjadi
angin lalu, padahal tindakan korupsi yang dilakukan koruptor sangatlah
merugikan rakyat Masduki (2002) dalam Klitgaard, dkk (2002)
Fenomena korupsi tersebut pada
dasarnya berakar pada bertahannya jenis birokrasi patrimonial di negeri ini.
Dalam biroykrasi ini, dilakukannya korupsi oleh para birokrat memang sulit
dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat
terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam
filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga cenderung masih mentabukan sikap
oposisi. Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan
negara hegemonik tersebut sebagai akibat warisan sistim penjajah menyebabkan
lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
Dari kebanyakan kasus korupsi pada
level pemerintahan daerah adalah melalui atau dari sisi penerimaan, pemerasan
uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk
kepentingan pribadi. Sementara tipe korupsi menurut de Asis (2000) adalah
korupsi politik, misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota
legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan
kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik
lobi yang menyimpang). Tipe korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola hubungan langganan) seperti hubungan pengusaha
jasa engineering, konstruksi, procurement
dengan instansi pemerintah.
Komentar
Posting Komentar